Monday, 4 July 2016

Beberapa Cara Mengusir Rasa Tidak Percaya Diri

Mungkin orang tidak banyak tahu, atau tidak percaya bahwa dulu saya punya penyakit, yakni perasaan tidak percaya diri yang berlebihan. Saya merasa rendah diri, terlalu kecil, sepele, dan atau menjadi orang yang paling rendah. Penyakit seperti itu lama sekali saya derita. Bahkan sampai kuliah di perguruan tinggi, perasaan yang sangat tidak menguntungkan itu masih saya bawa.
Sebagai akibat rasa rendah diri itu, kalau berbicara, saya menjadi gagap, merasa selalu salah, dan bahkan terlalu rendah di hadapan orang. Saya tidak berani bertemu dengan orang yang saya anggap besar atau penting. Jika harus ketemu, saya harus persiapkan dalam waktu yang lama. Sudah begitu pun, perasaan takut tatkala ketemu orang tersebut, badan saya menjadi gemetar, berkeringat, dan bahkan menjadi tidak tahu apa yang harus saya katakan.
Dalam keadaan seperti itu, pikiran jernih menjadi hilang. Yang tersisa hanyalah perasaan takut, khawatir salah, dan dianggap orang bahwa diri saya tidak ada gunanya. Sebetulnya ketika itu saya tahu, bahwa perasaan seperti itu tidak menguntungkan, dan harus segera dihilangkan. Tetapi saya juga tidak tahu, bagaimana menghilangkannya.
Saya juga tidak tahu, dari mana munculnya penyakit itu. Mungkin, itu terbawa dari latar belakang kehidupan keluarga. Ketika masih kecil, saya sehari-hari bergaul dengan teman-teman sekampung, bekerja sebagai menggembala ternak, mencari kayu bakar, dan atau menjalani pekerjaan lainnya sebagaimana anak desa umumnya. Akan tetapi, setelah masuk sekolah menengah di kota, saya bergaul dengan teman-teman, ----- yang saya lihat, berasal dari keluarga kelas menengah ke atas, sekalipun di antara mereka ada beberapa yang berasal dari kelas bawah. Hal seperti itulah, kira-kira yang melahirkan penyakit itu.
Penyakit itu sangat mengganggu. Apalagi kalau sedang ditugasi oleh ayah untuk adzan dan bahkan kadang membaca khutbah Jum'ah. Sejak lulus SMA, saya seringkali ditugasi untuk berpidato sebelum atau setelah ayah memberi pengajian. Rasanya sedemikian takut, gemetar, dan kebingungan setiap mendapat tugas itu. Menenangkan pikiran, agar bisa menyampaikan sesuatu secara jelas, ternyata bukan perkara mudah. Padahal, mengelak tugas itu juga tidak berani.
Perasaan rendah diri itu ternyata setelah sekian lama baru berhasil saya hilangkan. Untuk menghilangkan penyakit tersebut, berikut saya sampaikan melalui tulisan singkat ini. Siapa tahu, ada di antara para pembaca merasa memiliki penyakit yang serupa dan sedang berusaha mengenyahkannya. Memang, sekedar menghilangkan penyakit seperti itu, ternyata memerlukan kesabaran dan waktu yang agak lama.
Beberapa cara yang saya tempuh di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, saya selalu berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa saya adalah orang penting dan terhormat. Saya selalu berusaha melupakan dari segala kekurangan yang saya miliki. Saya tidak pernah mau menginventarisasi kekurangan yang ada pada diri saya sendiri. Justru sebaliknya, saya selalu menginventarisasi kelebihan-kelebihan yang saya miliki.
Kedua, saya selalu berusaha berprestasi, tentang apa saja yang menjadikan orang lain mengakui dan menghargai diri saya. Dalam hal olah raga dan seni, saya merasa tidak akan pernah memiliki prestasi itu sama sekali. Paling-paling, dalam kegiatan olah raga, saya hanya diperankan oleh teman-teman sebagai penonton, atau paling tinggi sebagai pemain cadangan.
Sejak kecil, saya memiliki potongan badan yang kurang menguntungkan, berukuran kecil dan lamban tatkala bergerak, atau kurang lincah. Berprestasi di bidang olah raga dan juga seni, saya anggap, -------dengan potongan badan seperti itu, tidak akan mungkin saya raih. Karena itu, saya memilih untuk mengejar kelebihan di bidang lainnya, yaitu bidang akademik. Dalam hal ini, saya berusaha mendapatkan prestasi lebih. Prestasi inilah yang kemudian saya banggakan. Dan akhirnya ternyata secara pelan bisa menghilangkan sebagian penyakit itu.
Ketiga, saya berusaha memanfaatkan kesempatan agar bisa bertemu dan menyapa orang-orang yang dianggap penting dan berpengaruh. Saya juga berusaha mendekat orang-orang yang saya anggap memiliki jaringan komunikasi luas. Saya berusaha mengenal para dosen, baik yang senior maupun yang yunior. Ketika itu, melalui Pak Malik Fadjar, saya berhasil mengenal dan bahkan dekat dengan orang-orang yang saya anggap penting, misalnya Gus Dur, Pak Nur Cholis Madjid, Pak Djohan Efendi, Pak Muslim Abdurrahman, dan lain-lain.
Sekalipun sudah berusaha melupakan kelemahan dan juga bergaul dengan orang-orang penting tersebut, ternyata penyakit rendah diri tersebut seringkali masih muncul. Apalagi, kalau sedang mengikuti diskusi atau seminar. Sebatas mau meminta waktu berbicara, muncul perasaan takut yang berlebihan. Akibatnya, ketika tiba giliran berbicara, badan menjadi terasa gemetar, pikiran kalut, terasa takut terhadap sesuatu yang ternyata juga tidak jelas. Lama kelamaan, setelah sekian lama merenung, saya menjadi sadar bahwa ternyata apa yang saya takuti selama itu sesungguhnya tidak ada. Apa yang saya takuti, ternyata hanya bayangan, yang saya reka-reka atau ciptakan sendiri.
Selanjutnya, hubungan atau komunikasi saya, dengan bertambahnya usia semakin luas. Saya mengenal beberapa tokoh, seperti Prof.Dr.Selo Sumardjan, Prof.Dr.Kuntjaraningrat, Prof. Dawam rahardjo, Prof.Dr. Muchtar Buchori, Prof. Dr. Santoso Hamidjoyo, Prof.Dr. Mattulada, Prof.Dr. Taufik Abdullah, Prof.Dr.Hasan Walinono, dan lain-lain. Perkenalan dengan orang-orang seperti itu, saya bisa berdiskusi dengan mereka. Akhirnya lama kelamaan, secara berangsur penyakit tersebut menjadi hilang dengan sendirinya. Bahkan, setelah sekian lama, sering disebut, saya terlalu memiliki rasa percaya diri atau PD. Mereka yang menyebut itu, -------saya yakin, tidak pernah tahu bahwa saya pernah menderita penyakit rendah diri.
Akhirnya saya berkesimpulan, bahwa untuk menghilangkan perasaan negative semacam rendah diri itu, harus diusahakan oleh dirinya sendiri. Menginventarisasi kelemahan diri sendiri ternyata tidak menguntungkan. Mestinya justru melakukan sebaliknya, yaitu menginventarisasi kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada dirinya. Setiap orang harus mampu meyakinkan dirinya masing-masing, bahwa Allah telah memberikan yang terbaik. Sillaturrahim ternyata menjadi kunci lainnya untuk membangun kepercayaan diri secara kokoh. Selain itu, khusnudhon dan selalu bersyukur atas nikmat yang diterimanya, juga amat penting untuk membangun kepercayaan diri itu. Wallahu a'lam.


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar